LAPORAN PENGABDIAN
KEPADA
MASYARAKAT
PELATIHAN BASIC LIFE SUPPORT PADA TENAGA KESEHATAN
PUSKESMAS KEBON IX SUNGAI GELAM
KABUPATEN MUARO JAMBI
Oleh:
Ns.
SURYADI IMRAN,.MKep
|
NIDN:
|
1020117201
|
Ns.
ERWINSYAH,MKep.Sp.KMB
|
NIDN:
|
1015057902
|
PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA KEPERAWATAN
AKADEMI KEPERAWATAN
GARUDA PUTIH
JAMBI
Bulan Februari 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah Peneliti panjatkan kehadiran
Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga usulan
penelitian ini dapat diselesaikan, semoga usulan pengabdian kepada masyarakat ini
dapat bermanfaat bagi kita semua, dalam hal ini tim peneliti mengucapkan
terimakasih kepada; Direktur Akper Garuda Putih Jambi, Ketua LPPM AKPER GAPU Jambi atas dukungan baik dari segi
moril maupun materil yang telah Bapak berikan semoga menjadi amal ibadah bagi
kita semua Amin
Semoga Allah SWT, selalu melimpahkan
karunia-Nya kepada kita semua, Amin ya Robbal Alamin.
Jambi, 2016
Peneliti
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
“Pelatihan BLS pada
tenaga kesehatan Puskesmas Kebon IX Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi”.
Bab 2. Pendahuluan
Kecamatan
Sungai Gelam merupakan salah satu wilayah Kabupaten Muaro Jambi dengan luas ± 80.455,25
Ha, yang berbatasan dengan beberapa wilayah, antara lain : Bagian Utara
berbatasan dengan Desa Tangkit, Bagian
Selatan berbatasan dengan Desa Pulau, Bagian Barat berbatasan dengan Kecamatan Talang Bakung Kota Jambi, Bagian
Timur berbatasan dengan Kecamatan
Petaling.
Secara umum kondisi geografis wilayah terdiri dari perkebunan dan terletak di daerah penyulingan minyak.
Karakteristik penduduknya
majemuk dan heterogen, dan sebagian besar penduduknya suku melayu jambi, dengan
kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa melayu jambi, rata-rata pekerjaan
penduduknya adalah pekerja pemerintahan dan swasta, penduduk kecamatan sungai gelam ini mempunyai tingkat kejadian kasus kegawat daruratan yang cukup
tinggi, seperti kasus kecelakaan lalu lintas, keracunan rumah tangga dan
komplikasi penyakit jantung koroner dan stroke,
sehingga memungkinkan penduduknya mengalami kasus kegawatdaruratan, selain itu karena
kondisi
jalan yang rusak sehingga memicu terjadinya banyak aksus kecelakaan lalu lintas.
Jumlah kasus
kegawatdaruratan dari data puskesmas di dapatkan sekitar 10% penduduk yang
berobat mengalami kasus kegawat daruratan dari
jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Sungai Gelam.. Tingginya angka penderita hipertensi ini menimbulkan masalah
yang serius dibidang kesehatan, karena banyak keluarga dengan anggota
keluarganya yang tidak mengetahui
bagaimana cara memberikan bantuan hidup dasar, dan haMpir semua
petugas kesehatan di Puskesmas Kebon IX belum mendapatkan pelatihan BLS, sehingga kadangkala karena kurang
pengetahuan tersebut banyak masyarakat yang penangnannya tidak tepat pada
akhirnya hanya menjadi kasus rujukan ke Rumah sSakit.
Berdasarkan dari survey
pendahuluan diketahui sekitar 99% tenaga kesehatan belum mendapatkan pelatihan bantuan
hidup dasar (BLS). Untuk
membantu permasalahan tersebut maka dirasakan
perlu adanya pelatihan BLS
kepada tenaga kesehatan di Puskesmas Kebon IX.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari fenomena
diatas maka yang menjadi rumusan masalah nya adalah bagaimana “Masih kurangnya
keterampilan tenaga kesehatan
tentang pemberian bantuan hidup dasar pada masyarakat yang
mengalami kejadian kegawatdaruratan”.
3. Tujuan
Kegiatan
3.1 Tenaga kesehatan mengetahui pengertian bantuan
hidup dasar setelah
dilakukan pelatihan.
3.2 Tenaga kesehatan mengerti cara memberikan bantuan
hidup dasar pada kasus kegawatdaruratan.
4. Manfaat
Kegiatan
4.1 Dapat meningkatkan pengetahuan Tenaga
kesehatan tentang BLS.
4.2 Dapat membantu masyarakat yang
mengalami kegawatdaruratan
4.3 Dapat membantu meningkatkan status kesehatan
maysarakat
5. Khalayak
Sasaran
5.1.
Peserta
memiliki kemauan dan ketersediaan waktu untuk mengikuti penyuluhan tersebut
5.2.
Peserta
mempunyai komitmen tinggi untuk menyebarluaskan materi pelatihan kepada masyarakat
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
1. Pengertian
Hipertensi
Pelayanan gawat darurat merupakan
bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum
tindakan/perawatan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang
berguna bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan
tepat, maka sering dimanfaatkan untuk
memperoleh pelayanan pertolongan pertama
dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan
pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan
asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan
kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya
secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan
yang tidak dapat dikendalika.
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek
keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang
berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi
biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap
maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang ke ruang gawat
darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya saling
ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi
kesehatan yang bekerja di ruang gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan sering dengan data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan
ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009).
Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang
mendasar pada kasus gawat darurat, maka setiap perawat gawat darurat harus
berkompeten dalam melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan pertolongan
terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan
dalam melakukan pengkajian awal yang akan
menentukan bentuk pertolongan
yang akan diberikan kepada pasien. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin
cepat pula dapat dilakukan pengkajian awal sehingga pasien tersebut dapat segera mendapat
pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu :
pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat
darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya
dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan
tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek
pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C:
Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D:
Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure, enviromental control, buka
baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
Pengkajian primer bertujuan
mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai
dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam
tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing
Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab
kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem
pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang
lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam
kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi
kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih
dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita gawat darurat penting
dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).
Perawatan
pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan
pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan
manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh
dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan
pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang
mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) : Primary survey, Resuscitation, History, Secondary survey, Definitive care
A.
Primary
Survey
Primary
survey menyediakan
evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi
akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary
survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah
yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
1.
Airway maintenance dengan cervical spine protection
2.
Breathing dan oxygenation
3.
Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
4.
Disability-pemeriksaan neurologis singkat
5.
Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat
penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan
yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah
sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas
sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran
tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan
sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan
berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan
trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian
intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment,
intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan,
antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
1. General
Impressions
a)
Memeriksa
kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
b)
Menentukan
keluhan utama atau mekanisme cedera
c)
Menentukan
status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
2. Pengkajian
Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah
memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan
ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara
dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang
tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang
leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi
cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson
& Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a)
Kaji
kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas
dengan bebas?
b)
Tanda-tanda
terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
1)
Adanya snoring atau gurgling
2)
Stridor
atau suara napas tidak normal
3)
Agitasi
(hipoksia)
4)
Penggunaan
otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
5)
Sianosis
c)
Look dan listen
bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab
obstruksi :
1)
Muntahan
2)
Perdarahan
3)
Gigi
lepas atau hilang
4)
Gigi
palsu
5)
Trauma
wajah
d)
Jika
terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e)
Lindungi
tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk
mengalami cedera tulang belakang.
f)
Gunakan
berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
1)
Chin lift/jaw
thrust
2)
Lakukan
suction (jika tersedia)
3)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal
Mask Airway
4)
Lakukan
intubasi
3.
Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai
kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan
pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan
adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a)
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap
ventilasi dan oksigenasi pasien.
1)
Inspeksi
dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut
: cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan
penggunaan otot bantu pernafasan.
2)
Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur
ruling iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax
dan pneumotoraks.
3)
Auskultasi
untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b)
Buka
dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
c)
Tentukan
laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter
dan kualitas pernafasan pasien.
d)
Penilaian
kembali status mental pasien.
e)
Dapatkan
bacaan pulse oksimetri jika
diperlukan
f)
Pemberian
intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
1)
Pemberian
terapi oksigen
2)
Bag-Valve
Masker
3)
Intubasi
(endotrakeal atau nasal dengan
konfirmasi penempatan yang benar), jika diindikasikan
4)
Catatan:
defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
g)
Kaji
adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai
kebutuhan.
4. Pengkajian
Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak
adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab
syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis:
hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, dan
penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi
merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi
perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade,
cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal
yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan
dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status
sirkulasi pasien, antara lain :
a)
Cek
nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b)
CPR
harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c)
Kontrol
perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara
langsung.
d)
Palpasi
nadi radial jika diperlukan:
1)
Menentukan
ada atau tidaknya
2)
Menilai
kualitas secara umum (kuat/lemah)
3)
Identifikasi
rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
e)
Kaji
kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
f)
Lakukan
treatment terhadap hipoperfusi
5.
Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability
dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
a)
A
- alert, yaitu merespon suara dengan
tepat, misalnya mematuhi perintah yang diberikan
b)
V
- vocalises, mungkin tidak sesuai
atau mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti
c)
P
- responds to pain only (harus
dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
d)
U
- unresponsive to pain, jika pasien
tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun
stimulus verbal.
6.
Expose,
Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada
pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang,
imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang
perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan
eksternal. Setelah semua pemeriksaan
telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson,
2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma
yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma
Assessment harus segera dilakukan:
ü
Lakukan
pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
ü
Perlakukan
setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai
melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz,
2009).
B. Penutup
Resume
Resume
1. Proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa
terdiri dari primary assessment, secondary assessment, focused assessment, dan diagnostic procedure.
2. Konsep primary
assessment merupakan proses evaluasi awal yang sistematis dan penanganan
segera pada pasien dewasa yang mengalami kondisi gawat darurat, yang meliputi Airway
maintenance, Breathing
dan oxygenation, Circulation dan
kontrol perdarahan eksternal, Disability-pemeriksaan
neurologis singkat dan Exposure
dengan kontrol lingkungan.
3. Konsep secondary
assessment yang membahas mengenai proses anamnesis dan pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan bentuk, luka
dan cedera yang dialami pasien dewasa.
4. Konsep Focused
assessment yang membahas mengenai beberapa
komponen apengkajian terfokus yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien dewasa di gawat darurat.
5. Pemeriksaan diagnostik yang dibutuhkan
untuk melengkapi proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa, yang
meliputi : Endoskopi, bronkoskopi, CT scan, USG, dll.
6. Perbedaan proses pengkajian gawat darurat pada pasien
dewasa dengan kondisi trauma dan non trauma adalah pada isi pertanyaan yang
ditanyakan (content) pada saat melakukan anamnesis dan pemeriksaan head
to toe yang dilakukan.
BAB
III
METODE
DAN PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1 Metode
Penerapan Kegiatan
Metode yang digunakan
dalam pengabdian masyarakat ini adalah metode penyuluhan yang langsung
diberikan kepada masyarakat,.
3.2 Keterkaitan
Kegiatan
pengabdian masyarakat ini melibatkan mahasiswa Akper Gapu Jambi tahun 2017 di Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi
3.3 Rancangan
Evaluasi
Evaluasi dilakukan
terhadap masyarakat di Sungai Gelam
Kabupaten Muaro Jambi
dengan diskusi yang
terjadi selama pelatihan, Keterlibatan
institusi pendidikan dalam hal ini adalah sebagai promotor dan fasilitator
dalam upaya kesehatan masyarakat untuk meningkatkan pendidikan kesehatan bagi tenaga
kesehatan puskesmas Sungai Gelam
Kabupaten Muaro Jambi.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Kegiatan
pengabdian ini telah dilakukan pada tanggal 28 Januari 2017, kegiatan ini diikuti oleh 61 orang peserta yang terdiri dari kepala Puskesmas Kebon IX, seluruh tenaga
kesehatan Puskesmas Kebon IX
Sungai Gelam, adapun
materi yang diberikan adalah pelatihan BLS
4.2 Pembahasan
Dari
hasil pelatihan yang
telah diberikan tentang bantuan hidup dasar pada tenaga kesehatan Puskesmas Kebon IX di Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambii dapat dinyatakan bahwa selama
kegiatan berlangsung peserta
sangat antusias hal ini dapat dilihat dari banyaknya peserta yang bertanya dan
memperhatikan pelatihan
yang di sampaikan oleh tim pengabdian masyarakat Akper Gapu Jambi. Akhir dari
pertemuan mahasiswa memantau prilaku masyarakat dalam bantuan hidup
dasar di Puskesmas Kebon IX Sungai Gelam Kabuipaten Muaro Jambi.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons.
(1997). Advanced trauma life support for doctors. instructor course manual book
1 - sixth edition. Chicago.
Curtis, K., Murphy,
M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing assessment process:
a structured framedwork for a systematic approach. Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136.
Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat
118. (2010). Basic Trauma Life Support and Basic Cardiac Life Support Edisi
Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.
Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang.
(2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat darurat (PPGD). RSUP.
Dr.M.Djamil Padang.
Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut
Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.
Emergency Nurses
Association (2007). Sheehy`s manual of
emergency care 6th edition. St. Louis Missouri : Elsevier
Mosby.
Fulde,
Gordian. (2009). Emergency medicine 5th
edition. Australia : Elsevier.
Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter.,
Pletz, Barbara. (2009). Patient
assessment routine medical care primary and secondary survey. San Mateo
County EMS Agency.
Gindhi, R.M., Cohen,
R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency
room use among aults aged 18-64: early release of estimates from the national
health interview survey, January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April
2013, dari http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-june_2011.pdf
Holder, AR. (2002 ).Emergency room
liability. JAMA.
Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with medical
emergency team (MET) guidelines. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithMETGuidelines.aspx.
Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk
fisioterapis. Diakses dari http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4
tanggal 5 Mei 2013
Lombardo, D. (2005). Patient asessment.
In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s
manual of emergency care, ed 6. Philadelphia: Mosby.
Lyandra, april, Budhi, Antariksa,
Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal
Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28 April 2013.
Lyer, P.W.,
Camp, N.H.(2005). Dokumentasi
Keperawatan, Suatu Pendekatan Proses Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC
Lampiran Dokumen Pengabdian Masyarakat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar