KONSEP PERILAKU
A.
Pengertian
Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Jadi yang dimaksud perilaku manusia pada
hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan sangat luas anatara lain, berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Sedangkan
menurut Sunaryo (2006), perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya
stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.
Semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik dapat diamati langsung maupun tidak
langsung yang diamati oleh pihak luar. (Notoatmodjo, 2007) perilaku adalah
keyakinan mengenai tersedianya atau tidaknya kesempatan dan sumber yang
diperlukan. Menurut Skinner, seperti yang
dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian
organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau
Stimulus – Organisme – Respon. Perilaku manusia tidak timbul dengan sendirinya, tetapi
akibat adanya rangsangan (stimulus), baik dalam dirinya (internal) maupun dari luar
individu (eksternal) (Sunaryo, 2006). Sedangkan menurut Skinner (dikutip
Notoatmodjo, 2007) menyatakan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara
perangsang (stimulus dan tangapan atau respon). Ia membedakan ada dua respon,
yaitu:
1.
Respondent
Respons atau Reflexive Respons, merupakan respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan tertentu. Respon ini sangat terbatas keberadaannya pada manusia
karena hubungan yang pasti antara stimulus dan respon kemungkinan untuk
memodifikasinya sangat kecil.
2.
Operant
Respons atau Instrumen Respons, merupakan respon yang timbul dan berkembangnya
diikuti oleh perangsang tertentu. Respon ini merupakan bagian terbesar dari
perilaku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasinya sangat besar bahkan tak
terbatas.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka
perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :
1.
Perilaku
tertutup (convert behavior)
Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau
reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,
pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima
stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
2.
Perilaku
terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas
dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau
dilihat oleh orang lain.
Menurut Sunaryo
(2006), perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Lebih lanjut
dijelaskan berdasarkan pendapat Maslow, bahwa manusia memiliki lima kebutuhan
dasar, yaitu:
1.
Kebutuhan
fisiologis/biologis, yang merupakan kebutuhan pokok utama; Yaitu oksigen,
karbondioksida, cairan elektrolit, makanan, dan seks.
2.
Kebutuhan rasa aman,
misalnya:
· Rasa aman terhindar dari pencurian, penodongan, perampokan,
dan kejahatan lain.
· Rasa aman terhindar dari konflik, tawuran, kerusuhan,
peperangan, dan lain-lain.
· Rasa aman terhindar dari sakit dan penyakit.
· Rasa aman memperoleh perlindungan hukum.
3.
Kebutuhan mencintai
dan dicintai, misalnya:
· Mendambakan kasih sayang/cinta kasih orang lain baik dari
orang tua, saudara, teman, kekasih, dan lain-lain.
· Ingin dicintai/mencintai orang lain.
·
Ingin diterima oleh kelompok
tempat ia berada.
4.
Kebutuhan harga diri,
misalnya:
· Ingin dihargai dan menghargai orang lain.
·
Adanya respek atau
perhatian dari orang lain.
·
Toleransi atau saling
menghargai dalam hidup berdampingan.
5.
Kebutuhan aktualisasi
diri, misalnya:
· Ingin dipuja atau disanjung oleh orang lain.
·
Ingin sukses atau
berhasil dalam mencapai cita-cita.
·
Ingin menonjol dan
lebih dari orang lain, baik dalam karier, usaha, kekayaan, dan lain-lain
(Sunaryo, 2006).
Sunaryo (2006),
membagi perilaku ke dalam 3 domain (kewarasan) yaitu :
1.
Pengetahuan
(Knowledge): Pengetahuan merupakan dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu, sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang (over
behavior).
2.
Sikap
(Attitude) Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap
belum merupakan suatu tindakan akan tetapi merupakan predisposisi tindakan
sikap perilaku.
3.
Praktek
atau tindakan (Practice) Setelah seseorang mengetahui stimulasi atau objek
kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapatan terhadap apa yang
diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau
mempraktekkan apa yang diketahuinya.
Sedangkan menurut
Roger dikutip (Notoatmodjo, 2007), sebelum orang menghadapi perilaku baru dalam
diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan :
1.
Awarness
(kesadaran); Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih
dahulu terhadap objek stimulus. Pada tahapan ini seseorang baru mengetahui
objek stimulus, misalnya pada perilaku deteksi dini kanker payudara, maka pada
tahapan ini seseorang baru mengetahui tentang perilaku deteksi dini kanker
payudara.
2.
Interest
(tertarik); Dimana orang tertarik dengan stimulus. Pada tahap ini seseorang
sudah mulai tertarik dengan masalah perilaku deteksi dini kanker payudara.
3.
Evaluasi
(penilaian) Rasa menimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik, sebab responden sudah mulai
membuat penilaian baik buruknya perilaku deteksi dini kanker payudara untuk
dirinya.
4.
Trial
(mencoba); Dimana seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan
serta sikap terhadap stimulus. Pada tahapan ini responden telah mulai mencoba
perilaku deteksi dini kanker payudara.
5.
Adopsi
(mengadapsi); Dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Pada tahapan ini perilaku deteksi
dini kanker payudara sudah menjadi bagian dari perilaku responden.
Menurut Loawrence
Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007) bahwa perilaku itu sendiri
dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yaitu:
1.
Faktor
Predisposisi; Yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan keyakinan,
nilai-nilai dan motivasi.
2.
Faktor
Enabling / pendukung; Yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan. Misalnya : rumah
sakit, obat-obatan.
3.
Faktor Reenforcing / pendorong; Yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
KONSEP
KINERJA
A. Pengertian
Kinerja
Kinerja adalah istilah yang
populer di dalam manajemen, yang mana istilah kinerja didefinisikan dengan
istilah hasil kerja, prestasi kerja dan performance.
Menurut The Sriber Bantam English Dictionary terbitan Amerika Serikat dan
Canada, tahun 1979 (dalam Prawirosentono, 1999:1-2) “to perform“ mempunyai beberapa “entries” berikut: (1) to do or Carry out; executive,
(2) to discharge or fulfill, as a
vow, (3) to party, as
a character in a play, (4) to render by the voice or musical instrument,
(5) to execute or complete on
undertaking, (6) to act a
part in a play, (7) to perform
music, (8) to do what
is expected of person or machine. Dalam Kamus Bahasa Indonesia
dikemukakan arti kinerja sebagai “(1) sesuatu yang dicapai; (2) prestasi
yang diperlihatkan; (3) kemampuan kerja”. Menurut Fattah (1999:19) kinerja atau
prestasi kerja (performance)
diartikan sebagai: ”ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap
dan keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu”. Sementara menurut
Sedarmayanti (2001:50) bahwa: “Kinerja merupakan terjemahan dari performance yang berarti prestasi
kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, unjuk kerja atau penampilan kerja”.
Samsudin (2005:159) menyebutkan
bahwa: “Kinerja adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai seseorang,
unit atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang
telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan”. Berdasarkan
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah penampilan yang
melakukan, menggambarkan dan menghasilkan sesuatu hal, baik yang bersifat fisik
dan non fisik yang sesuai dengan petunjuk, fungsi dan tugasnya yang didasari
oleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi. Setiap individu atau
organisasi tentu memiliki tujuan yang akan dicapai dengan menetapkan target
atau sasaran. Keberhasilan individu atau organisasi dalam mencapai target atau
sasaran tersebut merupakan kinerja. Seperti yang diungkapkan oleh Prawirosentono
(1999:2) yang mengartikan kinerja sebagai, “Hasil kerja yang dapat dicapai oleh
seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang
adan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mendapai tujuan organisasi
bersangkutan secara ilegal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral
maupun etika”. Dari pendapat Prawirosentono di atas terungkap bahwa kinerja
merupakan hasil kerja atau prestasi kerja seseorang atau organisasi. Berkaitan
dengan hal tersebut, Gomes (2003:142) mengatakan bahwa “Kinerja adalah catatan
hasil produksi pada fungsi pekerjaan yang spesifik atau aktivitas selama
periode waktu tertentu”. Sementara Rivai (2005:14) mengemukakan bahwa: “Kinerja
adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama
periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai
kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria
yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.”
Stolovitch and Keeps (1992:34)
mengemukakan bahwa: “Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan
merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang
diminta”. Griffin (1987:67), mengemukakan: “Kinerja merupakan salah satu
kumpulan total dari kerja yang ada pada diri pekerja”. Casio (1992:137)
mengemukakan: ”Kinerja merujuk kepada pencapaian tujuan karyawan atas tugas
yang diberikan. Donnelly, et al (1994:210) mengemukakan: “Kinerja merujuk
kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika
tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik.” Bernardin dan Russell
(1993:379) menyebutkan bahwa: “Performance
is defined as the record of outcomes produced on a specified job function or
activity during a specified time period”. Sementara Simamora
(2004:339) lebih tegas menyebutkan bahwa: “Kinerja (performance) mengacu kepada kadar pencapaian
tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan seseorang. Kinerja merefleksikan
seberapa baik karyawan memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan. Kinerja sering
disalahtafsirkan sebagai upaya (effort)
yang mencerminkan energi yang dikeluarkan, kinerja diukur dari segi hasil.”
Kesimpulan yang dapat diambil
dari pendapat Gomes (2003:142), Rivai (2005:14), Griffin (1987:67), Casio
(1992:137), Donnelly, et al. (1994:210), Bernardin dan Russell (1993:379) dan
Simamora (2004:339) adalah bahwa kinerja merupakan tingkat keberhasilan yang
diraih oleh pegawai dalam melakukan suatu aktivitas kerja dengan merujuk kepada
tugas yang harus dilakukannya.
B. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kinerja
Tinggi rendahnya kinerja pegawai
tergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini Jones
(2002:92) mengatakan bahwa “Banyak hal yang menyebabkan terjadinya kinerja yang
buruk, antara lain: (1) kemampuan pribadi, (2) kemampuan manajer, (3)
kesenjangan proses, (4) masalah lingkungan, (5) situasi pribadi, (6) motivasi”.
Wood, at. al. (2001:91) melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
individu (job performance)
sebagai suatu fungsi dari interaksi atribut individu (individual atribut), usaha kerja
(work effort) dan dukungan
organisasi (organizational support).
Sementara itu Buchari Zainun (1989:51) mengemukakan “ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja pegawai, yaitu : (1) ciri seseorang, (2) lingkungan
luar, dan (3) sikap terhadap profesi pegawai”. Berkaitan dengan dimensi kinerja
yang diungkapkan Wood, Wallace & Zeffane (2001), Schermerhorn, Hunt dan
Osborn (1982:76) lebih jauh mengungkapan bahwa pengelolaan kinerja akan
berdampak terhadap manajemen organisasi secara umum Dari uraian di atas,
jelaslah bahwa kinerja pegawai harus dikelola, terutama untuk mencapai
produktivitas dan efektivitas dalam rangka merancang bangun kesuksesan, baik
secara individu maupun organisasi. Dengan demikian, manajemen kinerja merupakan
suatu pendekatan untuk mencapai visi, misi, tujuan, dan target yang akan
dicapai melalui kerja tim. Seperti yang diungkapkan oleh O’Leary (dalam
Jacobus, 2001:57) bahwa “aspek penting dari kinerja tim adalah tingkat
keyakinan mereka terhadap kepemimpinan, sasaran, dan pekerjaan mereka sendiri”.
Selanjutnya Gordon (dalam Widodo,
1994:260) mengatakan bahwa “kelompok kerja berprestasi tinggi memiliki pemimpin
yang berhasil membina serta memelihara semangat dan motivasi bawahan guna
mencapai tingkat produktivitas yang dipandang perlu oleh organisasi agar
kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi”. Kedua pendapat di atas mengisyaratkan bahwa
tinggi rendahnya kinerja pegawai tergantung kepada keyakinan mereka terhadap
kepemimpinan, sasaran, dan pekerjaan mereka sendiri. Cara yang dapat digunakan
untuk mengembangkan keyakinan pegawai, baik individu maupun kelompok adalah
dengan menunjukkan tindakan dan perkataan informal bahwa pimpinan mempercayai
mereka. Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah
sifat dan karakteristik suatu pekerjaan yang dinyatakan sebagai catatan kerja
seseorang, dengan kriteria pengembangan diri, kerja tim, komunikasi, jumlah
produk yang dihasilkan, dan keputusan yang dibuat, kecelakaan kerja, absen
tanpa izin, kesalahan dalam kurun waktu. Kriteria kinerja setiap orang
didasarkan kepada tugas dan tanggung jawab keseharian yang ditargetkan
kepadanya. Kinerja berfungsi sebagai alat untuk memberi informasi bagi pekerja
dan atasannya mengenai bagaimana seseorang telah melakukan pekerjaan, dan
kinerja adalah fungsi dari interaksi antara kemampuan dan karakter kepribadian.
C. Kriteria Penilaian Kinerja
Dalam rangka melacak kemajuan
kinerja, mengidentifikasi kendala, dan memberi informasi dalam suatu
organisasi, diperlukan adanya komunikasi kinerja yang berlangsung terus
menerus, sehingga dapat mencegah dan menyelesaikan masalah yang terjadi. Karena
alasan sebenarnya mengelola kinerja adalah untuk meningkatkan produktivitas dan
efektivitas, serta merancang-bangun kesuksesan bagi setiap pekerja. Berkaitan
dengan hal tersebut, Bernardin & Russell (dalam Ruky, 2001:8) menyatakan bahwa: “perlu
diadakan penilaian kinerja, untuk mengelola dan memperbaiki kinerja karyawan,
untuk membuat keputusan staf yang tepat waktu dan akurat dan untuk mempertinggi
kualitas produksi dan jasa perusahaan secara keseluruhan”. Sementara menurut
Gomes (2003:135)
penilaian kinerja mempunyai tujuan untuk me-reward
kinerja sebelumnya (to reward
past performance) dan untuk memotivasi demi perbaikan kinerja pada
masa yang akan datang (to motivate
future performance improvement), serta informasi-informasi yang
diperoleh dari penilaian kinerja ini dapat digunakan untuk kepentingan
pemberian gaji, kenaikan gaji, promosi, pelatihan dan penempatan tugas-tugas
tertentu.
Berdasarkan kedua pendapat dari
Bernardin & Russell dan Gomes di atas, dapat dikatakan bahwa setiap
organisasi mutlak melakukan penilaian untuk mengetahui kinerja yang dicapai
setiap pegawai, apakah telah sesuai atau tidak dengan harapan organisasi.
Menilai kinerja pegawai dapat dilakukan dengan mengukur secara kualitatif dan
kuantitatif hasil kerja pegawai, yaitu dengan cara melihat prestasi dan
kontribusi yang diberikan pegawai dalam bekerja. Selanjutnya, untuk mengetahui
apakah karyawan melaksanakan tugas sesuai dengan tuntutan pekerjaan dan apakah
kinerjanya meningkat atau menurun, maka organisasi harus melakukan penilaian
kinerja kepada anggotanya yang dilakukan secara berkala. Kegiatan penilaian
kinerja adalah proses di mana perusahaan mengevaluasi atau menilai kemampuan
dan kecakapan kerja pegawai dalam melakukan suatu pekerjaan yang dibebankan
kepadanya.
Bernardin dan Russell (dalam
Ruky, 2001:12) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja adalah “A way of measuring the contribution of
individuals to their organization”. Sementara Hasibuan (2001:88)
memaparkan bahwa penilaian kinerja adalah “evaluasi terhadap perilaku, prestasi
kerja dan potensi pengembangan yang telah dilakukan”. Dengan demikian penilaian
kinerja merupakan wahana untuk mengevaluasi perilaku dan kontribusi pegawai
terhadap pekerjaan dan organisasi. Dharma (1998:118) mengemukakan penilaian
kinerja adalah “upaya menciptakan mengumpulkan masukan perbandingan-perbandingan
antara penampilan kerja dengan hasil kerja yang diharapkan”. Simamora
(2004:338) menyebutkan bahwa: “Penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses yang dipakai oleh
organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan”.
Syarif (1991:72) mengungkapkan
bahwa: “Penilaian kinerja adalah suatu proses untuk mengukur hasil kerja yang
dicapai oleh para pekerja dan dibandingkan terhadap standar tingkat prestasi
yang diminta guna mengetahui sampai di mana keterampilan telah dicapai”.
Sementara Samsudin (2005:159) menyebutkan: “Penilaian kinerja (performance appraisal) adalah
proses oleh organisasi untuk mengevaluasi atau menilai prestasi kerja
karyawan”. Dengan demikian dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
penilaian kinerja adalah proses membandingkan hasil kerja seseorang dengan
standar prestasi kerja yang telah ditetapkan oleh organisasi. Sehingga dengan
penilaian kinerja ini akan dapat diketahui seberapa baik seseorang melakukan
pekerjaan yang diberikan/ditugaskan. Berkaitan dengan penilaian kinerja ini,
Samsudin (2005:166) mengistilahkan dimensi/kriteria penilaian ini sebagai objek
penelitian. Menurut Samsudin (2005:166): “Objek penilaian adalah dimensi
perusahaan yang dapat dikendalikan oleh karyawan yang bersangkutan. … Objek
penilaian harus sinkron dengan tujuan penilaian. Apabila tidak sinkron dapat
terjadi kekeliruan penilaian tentang prestasi kerja karyawan yang diinginkan.”
Masih menurut Samsudin (2005:166)
terdapat beberapa objek penilaian yang dapat dinilai dari pegawai yang bekerja
diberbagai jabatan, sebagai berikut:
1.
Hal-hal
umum yang dinilai dari pegawai di bidang produksi, antara lain quality, quantity of work, knowledge of job,
dependability, cooperation, adaptability, attendance, versatility, house keeping,
dan safety.
2.
Hal-hal
umum yang dinilai dari pegawai tata usaha, antara lain quality, quantity of work, knowledge of job,
dependability, cooperation, adaptability, attendance, initiative,
judgement, dan health..
3.
Hal-hal
umum yang dinilai dari orang yang memegang posisi pimpinan, antara lain quality, quantity of work, knowledge of job,
dependability, cooperation, judgement, initiative, leadership, planning and
organizing, dan health.
Dengan demikian menurut Samsudin
objek-objek penilaian di atas, perlu disesuaikan dengan tujuan-tujuan
penilaian. Oleh karena itu Samsudin (2005:166) menyebutkan bahwa pada pokoknya:
“Objek penilaian karyawan itu mencakup dua hal pokok, yaitu hasil pekerjaan
(prestasi kerja) dan sifat-sifat pribadi. Ini berarti mencakup kemampuan dan
watak pribadi”. Simamora (2004:339) mengungkapkan bahwa: Supaya organisasi
berfungsi secara efektif, orang-orangnya mestilah dibujuk/dipikat agar masuk
dan bertahan di dalam organisasi, mereka harus melakukan tugas-tugas
peran mereka dengan cara yang handal, dan mereka harus memberikan kontribusi
spontan dan perilaku inovatif yang berbeda di luar tugas formal mereka. Tiga
perilaku dasar itu hendaknya disertakan dalam penilaian kinerja. Ketiga perilaku
dasar di atas, selanjutnya oleh Simamora (2004:339-340) diperjelas sebagai
berikut:
1.
Kebutuhan
pertama dari setiap organisasi adalah memikat sejumlah orang ke dalam
organisasi dan menahan mereka di dalam perusahaan dalam jangka waktu tertentu.
Hal itu berarti bahwa agar organisasi berfungsi secara efektif, organisasi itu
haruslah meminimalkan tingkat putaran karyawan, ketidakhadiran, dan
keterlambatan. Maka dari itu, dalam mengevaluasi kinerja, ketidakhadiran,
keterlambatan dan lamanya masa kerja patut dicermati.
2.
Supaya
organisasi efektif, organisasi haruslah meraih penyelesaian tugas yang handal
dari anggota-anggotanya. Dengan kata lain tolak ukur minimal kuantitas dan
kualitas kinerja harus dicapai. Pengevaluasian kuantitas dan kualitas bermakna
sekedar menghitung kuantitas barang yang dihasilkan dan banyaknya kesalahan
atau kerusakan.
3.
Perilaku
lainnya yang juga mempengaruhi efektivitas sebuah organisasi adalah perilaku
inovatif dan spontan, diantaranya meliputi: (a) kerjasama, yaitu tingkat
permintaan bantuan individu dari rekan-rekan sejawatnya dan bantuannya untuk
mencapai tujuan organisasi, (b) tindakan protektif, yaitu tingkat penghilangan
ancaman terhadap organisasi oleh para karyawan, (c) gagasan konstruktif, yaitu
tingkat pemberian sumbangan berbagai gagasan konstruktif dan kreatif para
karyawan untuk memperbaiki organisasi, (d) pelatihan diri, yaitu tingkat
keterikatan para karyawan dalam program pelatihan diri untuk membantu
organisasi mengisi kebutuhannya akan tenaga yang terlatih secara lebih baik, dan
(e) sikap yang menguntungkan, yaitu tingkat upaya para karyawan dalam
mengembangkan sikap yang menguntungkan terhadap organisasi di antara mereka
sendiri, pelanggan, dan masyarakat umum …”.
Prawirosentono (1999:27)
mengemukakan beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran kinerja, yaitu (1)
Efektivitas, (2) Otoritas dan tanggung jawab. (3) Disiplin, dan (4)
Inisiatif. Selanjutnya Umar (2003:102) menyebutkan ada 10 komponen data untuk
mengukur kinerja, yaitu: (1) kualitas pekerjaan, (2) kejujuran karyawan, (3)
inisiatif, (4) kehadiran, (5) sikap, (6) kerja sama, (7) keandalan, (8)
pengetahuan tentang pekerjaan, (9) tanggung jawab, dan (10) pemanfaatan waktu.
Bernardin dan Russell (1993:383) mengungkapkan ada enam kriteria pokok yang
dapat dipakai untuk mengukur kinerja, yaitu:
1.
Quality. The degree to which the process or
result of carrying out an activity approaches perfection, in term of either
conforming to same ideal way of performing the activity or fulfilling the
activity’s intended purpose.
2.
Quantity. The amount produced, expressed in
such terms as dollar value, number of units, or completed activity cycles.
3.
Timeliness. The degree to which an activity is
completed, or a result produced, at the earliest time desirable from the
standpoints of both coordinating with the outputs of others and maximizing the
time available for other activities.
4.
Cost effectiveness.. The degree to which
the use of the organization’s resources (e.g., human, monetary, technological,
material) is maximized in the sense of getting the highest gain or reduction in
loss from each unit or instance of use of resource.
5.
Need for supervision. The degree to which a
performer can carry out a job function without either having to request
supervisory assistance or requiring supervisory intervention to prevent an
adverse outcome.
6.
Interpersonal impact. The degree to which a
performer promotes feelings of self esteem, goodwill, and cooperation among
coworkers and subordinates.
Koontz et al
(dalam Hutauruk, 1986:50-52) menyebutkan beberapa kriteria untuk menilai
kinerja pegawai, antara lain:(a) Intelijensia. Berhubungan dengan kemampuan
untuk mengerti kesadaran mental. (b) Pertimbangan.
Berhubungan dengan sikap membedakan untuk melihat hubungan antara hal satu dan
lainnya. (c) Inisiatif. Berhubungan dengan pemikiran konstruktif dan penuh
akal; berkemampuan dan berintelijensi untuk bertindak atas tanggung jawabnya
sendiri. (d) Kekuatan. Berhubungan dengan kekuatan moril yang dimiliki dan
digunakan untuk mencapai hasil. (e) Kepemimpinan. Berhubungan dengan kemampuan
untuk mengarahkan, dan mempengaruhi orang lain dalam tindakan yang tertentu dan
dalam menjaga disiplin. (f) Keberanian
moril. Berhubungan dengan sifat mental yang membuat seseorang untuk melakukan
apa yang dikatakan oleh hati nuraninya tanpa takut-takut. (g) Kerjasama.
Berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja secara serasi dengan orang lain
untuk mencapai tujuan bersama. (h) Kesetiaan.
Berhubungan dengan kesesuaian, kesetiaan, kelanggengan, pengabdian semua
terhadap otoritas yang lebih tinggi. (i)
Keteguhan. Berhubungan dengan upaya mempertahankan tujuan atau saran
walaupun ada hambatan. (j) Reaksi terhadap keadaan darurat. Berhubungan dengan
kemampuan untuk bertindak secara masuk akal dalam situasi yang sulit dan tak
terduga. (k) Daya tahan. Berhubungan dengan kemampuan untuk bekerja dalam
kondisi apapun. (l) Kerajinan. Berhubungan dengan prestasi kerja dari segi
tenaganya. (m) penampilan dan kerapihan diri serta pakaian. Berhubungan dengan
harga diri, kelengkapan seragam, dan kerapihan penampilannya.
Sementara
itu untuk melihat deskripsi perilaku individu secara spesifik, Gomes (2003:142)
mengungkapkan beberapa dimensi atau kriteria yang perlu mendapat perhatian
dalam mengukur kinerja, antara lain :
(1) Quantity of work, yaitu jumlah kerja
yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan. (2) Quality of work, yaitu kualitas
kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya. (3) Job knowledge, yaitu luasnya
pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya. (4) Creativeness, yaitu keaslian
gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang timbul. (5) Cooperation,
yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain sesama anggota
organisasi. (6) Dependability, yaitu
kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan menyelesaikan pekerjaan.
(7) Initiative, yaitu
semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggung
jawabnya. (8) Personal qualities, yaitu
menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.
Selanjutnya
masih menurut Gomes (2003:142) bahwa untuk dapat melakukan penilaian terhadap
kinerja secara efektif, ada dua syarat utama yang harus diperhatikan, yaitu (1)
adanya kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif dan (2) adanya
objektivitas dalam proses evaluasi. Selengkapnya berikut penjelasan dari Gomes
tersebut:
- Kriteria pengembangan kinerja yang dapat diukur secara objektif untuk pengembangannya diperlukan kualifikasi-kualifikasi tertentu. Ada tiga kualifikasi penting bagi pengembangan kriteria kinerja yang dapat diukur secara objektif, yaitu: (a) Relevansi, yaitu pengukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian antara kriteria dengan tujuan-tujuan kinerja. Misalnya kecepatan produksi bisa menjadi ukuran kinerja yang lebih relevan jika dibandingkan dengan penampilan seseorang. (b) Reliabilitas, yaitu pengukuran yang menunjukkan tingkat dimana kriteria menghasilkan hasil yang konsisten. Ukuran-ukuran kuantitatif seperti satuan-satuan produksi dan volume penjualan bisa menghasilkan ukuran yang konsisten secara relatif. Sedangkan kriteria-kriteria yang sifatnya subjektif, seperti sikap, kreativitas dan kerja sama menghasilkan pengukuran yang tidak konsisten karena tergantung pada orang yang mengevaluasinya. (c) Diskriminasi, yaitu tingkat pengukuran dimana suatu kriteria kinerja bisa memperlihatkan perbedaan-perbedaan dalam kinerja. Jika nilai cenderung menunjukkan semua baik atau jelek, ini berarti ukuran kinerja tidak bersifat diskriminatif, tidak membedakan kinerja dari masing-masing pekerja.
- Dilihat dari efektivitas dalam proses evaluasi, ada tiga penilaian kinerja yang saling berbeda, yaitu: (1) Result-based performance evaluation. Penilaian kinerja berdasarkan hasil akhir, yaitu tipe penilaian kinerja yang dilakukan dengan merumuskan kinerja dalam mencapai tujuan organisasi dan melakukan pengukuran hasil-hasil akhirnya. (2) Behavior-based performance evaluation. Penilaian kinerja berdasarkan perilaku, yaitu tipe penilaian kinerja yang bermaksud untuk mengukur tercapainya sasaran (goals), dan bukan hasil akhirnya (end results). Dalam praktek, kebanyakan pekerjaan yang tidak dapat diukur kinerjanya dengan ukuran yang objektif karena melibatkan aspek-aspek kualitatif. (3) Judgment-performance evaluation. Penilaian kinerja berdasarkan judgment, yaitu tipe penilaian kinerja yang menilai atau mengevaluasi kinerja pekerja berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik seperti quantity of work, quality of work, job knowledge, cooperation, initiative, reliability, interpersonal competence, loyality, dependability, personal qualities dan yang sejenisnya.
D. Kinerja Pelayanan
Menelusuri
arti pelayanan, Kotler (dalam Supranto, 1997:45) menyebutkan bahwa:”Pelayanan
adalah setiap tindakan/kegiatan atau penampilan/manfaat yang ditawarkan oleh
setiap pihak ke pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak
menghasilkan kepemilikan terhadap sarana yang menghasilkan pelayanan tersebut.”
Wujud
pelayanan, biasanya dapat dilihat dari keramahtamahan, pengetahuan produk,
kesigapan dalam membantu, dan antusiasme para pegawai dalam menangani suatu
persoalan. Masalah pelayanan pun sering dikaitkan dengan lokasi, jumlah produk
jasa yang ditawarkan, serta keuntungan yang akan didapat oleh pelanggan.
Berkaitan
dengan pelayanan yang diberikan oleh instansi pemerintah kepada masyarakat,
pelayanan untuk masyarakat (umum) tidak terlepas dari masalah kepentingan umum,
yang menjadi asal usul timbulnya pelayanan umum tersebut. Dengan kata lain,
terdapat korelasi antara kepentingan umum dengan pelayanan umum. Namun sebelum
berbicara mengenai pelayanan umum, perlu kiranya klarifikasi tentang pengertian
“umum” itu sendiri. Dari berbagai studi telaahan, istilah umum dimaksudkan
sebagai terjemahan dari kata public
yang pengertiannya cukup luas.
Shepherd dan
Wilcox (dalam Saefullah, 1999:5) memberikan pengertian “The public is of course. The whole community, individuals, sharing citizenship, responsibilities, and benefit”. Dalam hubungannya
dengan pemerintahan, kata umum merupakan singkatan dari sebutan “masyarakat
umum” yang memiliki pengertian sama dengan yang dikemukakan Shepherd dan Wilcox
tersebut.
Menurut
Saefullah (1999:5) “Pelayanan umum (public service)
adalah pelayanan yang diberikan kepada masyarakat umum yang menjadi warga
negara atau yang secara sah menjadi penduduk negara yang bersangkutan”.
Sementara pengertian pelayanan umum menurut Lukman (2000:6) adalah “suatu
kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara
seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik”.
Pendapat
lain tentang pengertian pelayanan dikemukakan oleh Pamudji (1994:21), yaitu
“pelayanan publik adalah kegiatan pemerintahan yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa”. Selanjutnya Kotler (dalam Supranto,
1997:46) mengatakan bahwa: “A service is
any act or performance that one party can offer to another that is essentially
intangible and does not result in the ownership of anything it’s production may
or may not be tied to physical product”.
Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada dasarnya pelayanan itu merupakan
suatu bentuk interaksi antara satu pihak (yang memberi pelayanan) dengan pihak
lain (yang menerima pelayanan), tidak berwujud fisik akan tetapi dapat
dirasakan, dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
Dilihat dari
prosesnya, terjadi interaksi antara yang memberi pelayanan dengan yang diberi
pelayanan. Dalam hal umum atau pelayanan publik, pemerintah sebagai lembaga
birokrasi mempunyai fungsi untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat,
sedangkan masyarakat sebagai pihak yang memberikan mandat kepada pemerintah
mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan dari pemerintah.
Hal yang
paling rumit dari pelayanan adalah kualitasnya yang sangat dipengaruhi oleh
harapan pelanggan, karena harapan pelanggan sangat bervariasi tergantung pada
kondisi yang sedang dialaminya, seperti yang disampaikan oleh Olsen dan Wyckoff
(dalam Zulian Yamit, 2001:22) bahwa : “Harapan pelanggan dapat bervariasi dari
pelanggan satu dengan pelanggan yang lain walaupun pelayanan yang diberikan
konsisten. Jadi, kualitas pelayanan adalah perbandingan antara harapan konsumen
dengan kinerja pelayanan.”
Berdasarkan
uraian tentang kinerja dan pelayanan sebagaimana disampaikan di muka,
selanjutnya dapat diberikan kesimpulan bahwa kinerja pelayanan pegawai
merupakan tingkat keberhasilan pegawai dalam melaksanakan tugas dan kemampuan
untuk melayani pelanggan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
sehingga diperoleh kepuasan bagi pemberi dan penerima pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
- Aminah, Siti.2009. Baby’s Corner. Jakarta: PT Luxima Metro Media
- Azwar. 2009. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
- Desmita, 2006. Sikologi Perkembangan. Bandung Remaja Rosda karya
- Mubarok, 2007. Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar Dalam Pendidikan. Yogyakarta : Graha Ilmu
- Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta
- Purwanto,H. 1998. Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan Jakarta : EGC
- Saifudin.2006. Sikap manusia dan Pengukurannya. Jakarta : Rineka Cipta
- Widayatun,T,R. 2009. Ilmu Perilaku M.A.104. Jakarta : CV Agung Seto
- Yasin. 2008. Motivasi. http//www.motivasi.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar