oleh Suryadi Imran dan Zulfa Adawiya
1.
Anatomi dan fisiologi pernafasan
a. Anatomi system pernafasan
1.
Saluran
pernafasan bagian atas
Saluran
pernafasan bagian atas terdiri dari hidung, faring, laring, epiglotis yang
berfungsi menghangatkan dan melembabkan udara yang dihirup.
a. Hidung
Hidung terdiri
atas nares anterior ( saluran didalam rongga hidung ) memuat kelenjer basale
dengan ditutupi bulu kasar yang bermuara kerongga hidung dilapisi oleh selaput
lendir yang mengandung pembulu darah. Proses oksigenasi diawali dari sini yaitu
pada saat udara masuk melalui hidung, udara akan disaring oleh bulu – bulu yang
ada dalam vestibulum ( bagian rongga hidung ), lalu dihangatkan sera
dilembabkan.
b. Faring
Faring
merupakan pipa yang memiliki otot, memanjang melalui dinding dasar tengkorak,
sampai dengan esophagus yang terletak dibelakang nasofaring ( dibelakang hidung
), dibelakang mulut ( orofaring ) dan dibelakang laring ( laringo faring ).
c. Laring ( tenggorokan )
Merupakan
saluran pernafasan setelah faring terdiri dari bagian tulang rawan, yang diikat
bersama ligament dan membrane, yang terdiri atas dua lamina yang bersambung
digaris tengah.
d. Epiglotis
Merupakan
katup tulang rawan yang berfungsi membantu menutup laring ketika orang sedang
menelan.
2. Saluran pernafasan bagian bawah
Saluran pernafasan
bagian bawah yaitu trakea, tendon, bronchus, segmen bronkus, dan bronkiolus
yang berfungsi mengalirkan udara dan memproduksi surfaktan.
a. Trakea
Merupakan
batang tenggorokan yang memiliki panjang kurang lebih 9 cm dimulai dari laring
sampai kira – kira setinggi vertebra thorakalis ke lima.trakea tersebut
tersusun atas 16 sampai 20 lingkaran tidak lengkap yang berupa cincin. Trakea
dilapisi selaput lendir yang terdiri atas epithelium yang bersilia yang dapat
mengeluarkan debu dan benda asing.
b. Bronkhus
Bronkhus
adalah bentuk percabangan atas kelanjutan trakea yang terdiri dari dua
percabangan yaitu kanan dan kiri. Bagian kanan lebih pendek dan lebar dari pada
bagian kiri, yang memiliki tiga lobus atas, tengah, bawah.sedangkan bronkhus
kiri lebih panang berjalan lobus atas dan bawah kemudian saluran setelah
bronkhus adalah bagian percabangan bronkhiolus.
3.
Paru
Merupakan
organ utama system pernafasan. Letak paru didalam rongga thorak setinggi tulang
selangka sampai dengan diagfragma. Paru terdiri atas beberapa lobus yang
dilapisi pleura yaitu pleura parietalis dan fleura viseralis, kemudian juga
dilindungi oleh cairan pleura yang berisi cairan surfaktan.
Paru sebagai
alat pernafasan terdiri dari paru kanan, kiri dan tengah, dari organ tersebut
terdapat organ jantung beserta pembuluh darah yang berbentuk kerucut dengan
bagian puncak disebut apeks. Paru memiliki jaringan yang bersifat elastis,
berpori, dan memiliki fungsi pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida.
c. Fisiologi system pernafasan
Merupakan proses
pemenuhan kebutuhan oksigen ( pernafasan ) didalam tubuh terdapat 3 tahap yaitu
:
1. Ventilasi
Merupakan
proses keluar dan masuknya oksigen dari atmosfer kedalam alveoli / dari alveoli
ke atmosfir, dalam proses ventilasi ini terdapat beberapa hal yang mempengaruhi
yaitu perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru, semakin tinggi tekanan
maka semakin rendah begitu juga sebaliknya. Hal ini mempengaruhi proses
ventilasi kemampuan thoraks dan paru pada alveoli dalam melaksanakan ekspansi /
kembang kempisnya, adanya jalan nafas yang dimulai dari hidung hingga alveoli
yang terdiri atas berbagai otot polos yang kerjanya sangat mempengaruhi oleh
system saraf otonom, terjadinya rangsangan simpatis yang dapat menyebabkan
relaksasi sehingga terjadi vasodilatasi lalu kerja saraf parasimpatis dapat
menyebabkan vasokontriksi / proses penyempitan, adanya reflek batuk dan muntah
juga dapat mempengaruhi adanya proses ventilasi, adanya peran mucus yang
sebagai penangkal benda asing yang mengandung interveron dapat mengikat
virus.pengaruh proses ventilasi selanjutnya adalah komplians, recoil yaitu
kemampuan paru berkembang yang dapat dipengaruhi oleh beberapa factor
diantaranya surfakan yang terdapat pada lapisan alveoli yang berfungsi
menurunkan tegangan permukaan dan masih ada sisa udara sehingga tidak terjadi
kolaps dan gangguan torak / keadaan paru itu sendiri. Surfaktan diproduksi
terjadi peregangan sel alveoli. Surfaktan disekresi saat klien menarik nafas.
Recoil adalah kemampuan mengeluarkan CO2/ kontraksi / penyempitan
paru. Apabila compliance baik akan tetapi recoil terganggu, maka CO2
tidak dapat keluar secara maksimal.
Pusat
pernafasan adalah medulla oblongatu dan ponspun dapat mempengaruhi proses
ventilasi, karena CO2 memiliki kemampuan merangsang pusat
pernafasan. Peningkatan CO2 dalam batas 60 mmHgdapat dengan baik
merangsang pusat persarafan.
2. Difusi gas
Merupakan
pertukaran antara oksigen alveoli dalam kapiler paru dan CO2 kapiler
dengan alveoli. Dalam proses pertukaran ini terdapat factor yang dapat
mempengaruhinya diantaranya pertama adalah luas permukaan paru, kedua : tebal
membran respirasi / permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan
interstisial keduanya.ini dapat mempengaruhi proses difusi apabila terjadi
proses penebalan. Ketiga : perbedaan tekanan dan konsentrasi O2. Hal
ini dapat terjadi O2 dari alveoli masuk kedalam darah oleh tekanan O2
dalam rongga alveoli lebih tinggi dari tekanan O2 dalam rongga
alveoli dalam darah vena pulmonalis juga akan berdifusi kedalam alveoli.
Keempat : afinitas gas yaitu kemampuan untuk menembus dan saling mengikat Hb.
3. Transportasi gas
Merupakan
transportasi darah O2 kapiler kejaringan tubuh dan O2
jaringan tubuh ke kapiler. Pada proses transportasi O2 akan
berikatan dengan Hb membentuk oksihemoglobin ( 97 % ) dan larut dalam plasma (
3 % ) lalu transportasi CO 2 akan berikatan dengan Hb membantu
karbomino hemoglobin ( 30 % ), dan larut dalam plasma ( 5 % )sehingga menjadi
HCO3 berada dalam darah ( 65 % ).
2.
Definisi
Broncho
Pneumonia adalah suatu
peradangan pada paru – paru yang disebabkan oleh bermacam – macam seperti
Bakteri, virus, jamur dan benda asing. ( Purnawan Junaidi, dkk : 1987 : 199 )
Broncho
Pneumonia adalah
peradangan akut parenkhim paru – paru yang biasa berasal nama Pneumonia atau
Pneumonitis. ( Sylvia A.P / Lorraine M.W : 1984 : 560 )
Broncho Pneumonia sering juga disebut pneumonia lobular adalah suatu
penyakit gagguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi dan orang tua yang
disebabkan oleh Hemoklus Influinza, Carrier pneumokokus, Tuborkolosis. ( J.L.Burton
: 1989 : 46 )
Broncho Pneumonia adalah peradangan pada parenkhim paru yang
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, benda asing ditandai dengan panas
tinggi, gelisah, dispnea, nafas cepat, nafas dangkal, batuk kering, produktif.
( A. Aziz Alimul Hidayat : 2006 : 80 )
Broncho Pneumonia adalah penyakit yang didahului infeksi traktus
respiratorius bagian atas selama beberapa hari ditandai suhu naik mendadak
sampai 39 - 40°c dan kadang disertai dengan kejang karena demam tinggi. Anak
sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat, dangkal. Batuk biasanya tidak
ditemukan pada permulaan sakit tapi setelah beberapa hari kemudian menjadi
produktif. ( Ngastiyah : 2005 : 41 )
2. Etiologi
Etiologi dari Broncho pneumoniai dibagi
dalam beberapa faktor :
a. Bakteri
1.
Diplococcus
Pneumonia
2. Pneumokcoccus
3.
Streptococcus
Hemoliticus Aureus
4.
Haemophilus
Influinza
5.
Basilus
Friendlander ( klebsial Pneumonia )
6.
Mycobakterium
Tuberculosis
b. Virus
1. Respiratory Syntical Virus
2. Virus Influenza
3. Virus Sitomegalik
c. Jamur
1. Citoplasma Capsulatum
2. Criptococcus Nepromas
3. Blastomices Dermatides
4. Cocedirides Immitis
5. Aspergillius Sp
6. Canddinda Albicans
7. Mycoplasma Pneumonia
8. Aspirasi benda asing
d. Daya tahan tubuh menurun misalnya akibat
mal nutrisi energi protein, penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak
sempurna.
3.
Patofisiologi
Broncho
Pneumonia dapat terjadi
akibat inhalasi mikroba yang ada diudara, masuk ke paru – paru melalui saluran
pernafasan masuk ke bronkioli sehingga menimbulkan peradangan. Inflamasi
pada bronkus ditandai dengan penumpukan sekret sehingga terjadi demam, batuk,
ronchi positif dan mual. Bakteri yang masuk ke bronkioli dan alveoli
menghasilkan cairan yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan
interstitial. Kuman Pneumococcus dapat meluas melalui alveoli ke seluruh segmen/lobus. Timbul hepatisasi
merah akibat perembesan eritrosit dan beberapa leukosit dari kapiler paru –
paru. Alveoli menjadi penuh dengan cairan edema sehingga kapiler alveoli
menjadi melebar. Paru menjadi tidak berisi udara lagi, kenyal dan berwarna
merah.
4.
Gambaran Klinis
Menurut Halim Danusantoso dalam buku saku ilmu penyakit paru menyebutkan
gambaran klinis pada pasien Broncho
Pneumonia dibagi dalam tiga fase yaitu :
a. Stadium Prodromal
Pada mula keluhan penderita mengeluhkan
demam, letergi, nyeri otot – otot, nafsu makan berkurang dan disertai batuk
berdahak hanya sedikit atau sulit untuk dikeluarkan. Berlangsung selama kurang
lebih seminggu. Pemeriksaan fisik biasanya ditemukan Ronki basah halus dibagian
paru yang terserang.
b. Stadium Hepatisasi
Keadaan penderita semakin parah dengan
suhu tubuh tinggi 39°C atau lebih, menggigil, disertai dengan sesak nafas serta
pernafasan cuping hidung, nyeri dada, batuk semakin parah dengn sputum hampir
tidak ada sama sekali.
c. Stadium
Resolusi
Mulai penyembuhan panas mulai turun, batuk
semakin longgar, dahak semakin mudah dikeluarkan, nyeri dada berangsur – angsur
hilang. Pada pemeriksaan fisik kelainan berkurang. Kesembuhan sempurna akan
dicapai pada minggu ke tiga.
Gambaran
klinis menurut Cecily L.betz :
a. Batuk
b. Dispnea
c. Takipnea
d. Sianosis
e. Melemahnya suara nafas
f. Retraksi dinding dada
g. Pernafasan cuping hidung
Tanda dan gejala Bronko Pneumonia menurut Donna L.Wong
dkk yaitu :
a. Demam biasanya cukup tinggi.
b. Batuk tidak produltif sampai produktif.
c. Pernafasan cuping hidung.
d. Pucat.
e. Sianosis.
f. Fhoto thorak adanya infiltrat.
g. Prilaku sensitive, gelisah.
h. Latergi.
5.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik dan tanda yang diuraikan sebelumnya, disertai
dengan pemeriksaan penunjang. Diagnosis dan etiologi dibuat berdasarkan
pemeriksaan mikrobiologi dan serologi. ( Mansjoer : 2000 : 467 )
Pada stadium permulaan sulit untuk dibuat diagnosis dengan pemeriksaan
fisik tetapi dengan adanya pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung
dan mulut dapat diduga adanya pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik tergantung
dengan luasnya daerah auskultasi yang terkena. Pada perkusi sering tidak
ditemukan kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronchi basah halus atau sedang, Pernafasan cuping hidung.
Menurut Halim Danusantoso dalam buku saku ilmu penyakit paru menyebutkan
tata cara dalam mendiagnosis penyakit pneumonia yaitu :
a. Tentukan dahulu pnomonia atau bukan
pneumonia dan jenis pneumonianya.
b. Tentukan penyebabnya.
c. Tentukan kualifikasi sistem imunitas penderita
secara garis besar.
d. Perhatikan anamnesis dan fisik diagnostik
misalnya warna sputum, adanya serangan flu sebelum sakit dan lain – lain.
e. Adanya riwayat penyakit sebelumnya.
6.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
darah menunjukkan tingginya leukosit bisa mencapai 20.000 sel/mm3. Pada
pemeriksaan radiologis memberikan gambaran adanya bercak infiltrat pada satu
atau beberapa lobus, pemeriksaan sputum.(
Manjoer : 2000 : 467 )
Foto toraks pada Broncho Pneumonia terdapat bercak – bercak
infiltrat pada satu atau beberapa lobus. Gambaran darah tepi menunjukkan bahwa
leukosit dapat mencapai 15.000 – 40.000 /mm3. ( Ngastiyah : 2005 :
59 )
7.
Penatalaksanaan
a. Medis
Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi
tetapi karena hal itu perlu waktu dan pasien perlu terapi secepatnya maka
biasanya diberikan :
1. Penisilin 50.000 untuk / kgBB / hari,
ditambah dengan kloranfenikol 50 – 70 mg /kgBB / hari diberikan sebagai
antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampisilin. Pengobatan ini
diteruskan sampai bebas demam 4 – 5 hari.
Tabel
I.
Pemilihan
antibiotik berdasarkan etiologi
Mikroorganisme
|
Antibiotik
|
Steptococcus dan Stafilococcus
|
Penisilin 50.000 unit / hari iv
atau penisilin prokain 600.000U/kali/hari im atau Ampisilin 100mg/kgBB/hari
atau setfriakson 75 – 200 mg/kgBB/hari.
|
M. Pneumonia
|
Eritromisin 15 mg/kgBB/hari atau derifatnya
|
H. Influenza, klebsiella, P. Aeruginosa
|
Kloranfenikol 100mg/kgBB/hari atau sefalosforin
|
Pengobatan diberikan selama 7 – 10 hari pada kasus tanpa komplikasi,
pneumonia ringan tidak memerlukan perawatan dan diberikan antibioti oral
golongan derifatnya / kotrimoksazol.
|
Sumber :
Arief manjoer, 2000
Sedangkan Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan
campuran glukosa5 % dan Nacl 0.9 % dengan perbandingan 3 : 1 ditambah larutan
KCL 10 mGq / 500 ml / botol infus.
Pasien ringan tidak perlu dirawat di rumah sakit.
b. Keperawatan
Seringkali pasien pneumonia yang dirawat dirumah
sakit datang sudah dalam keadaan payah, sangat dispnea, pernafasan cuping
hidung, sianosis, dan gelisah. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah
menjaga kelancaran pernafasan, kebutuhan istirahat, kebutuhan nutrisi / cairan,
mangontrol suhu tubuh, mencegah komplikasi dan kurang pengetahuan orang tua
mengenai penyakit.
1.
Menjaga
kelancaran pernafasan
Pasien pneumonia berada dalam keadaan dispnea dan
sianosis karena radang paru – paru dan banyaknya lendir di dalam bronkus /
paru. Agar pasien dapat bernafas pasien diberikan O2 2 L/menit. Pada
anak yang agak besar ( sudah mengerti ) berikan sikap baring setengah duduk,
longgarkan pakaian, ajarkan batuk efektif bila adanya lendir.
Pada bayi baringkan dengan letak kepala ekstensi
dengan memberikan ganjal dibawah bahunya. Buka pakaian ketat, isap lendirnya
dan berikan O2 2 L/menit. Penghisapan lendir harus sering yaitu pada
saat terlihat lendir didalam mulut, pada waktu akan memberi minum, mengubah
sikap baring atau tindakan. Perhatikan dengan cermat pemberian infus perhatikan
apakah infus lancar atau tidak.
2.
Kebutuhan
istirahat
Usahakan keadaan tenang. Jangan menyuntik
saat anak tidur.
3.
Kebutuhan
nutrisi dan cairan
Hipertermia dan pemasukan cairan yang
kurang dapat mengakibatkan dehidrasi. Untuk mencegah dehidrasi gunakan glukosa
5 % dan Nacl 0, 9 % dengan perbandingan 3 : 1 ditambah KCL mEq/500ml/botol
infus. Apabila sesak berkurang pasien diberikan makanan lunak.
Pada bayi memberi ASI bila pasien sesak jangan dengan cara
menetekkan anak karena bisa menimbulkan sesak. ASI dipompa dan diberikan
menggunakan sendok, tetapi apabila anak sudah bisa menghisap dan tidak sesak berikan
dengan pelan – pelan. Berikan susu 1 botol 2 – 3 kali dengan istirahat ¼ jam
karena jika tidak pasien akan kelelahan. Jika terpaksa memberikan susu personde
juga harus dibagi 2 – 3 kali karena jika lambung mendadak penuh menyebabkan
sesak nafas.
4.
Mengontrol suhu tubuh
Sewaktu – waktu dapat mengalami
hiperpireksia untuk itu, suhu harus dikontrol setiap jam selain diberikan
kompres hangat dan obat.
5.
Mencegah komplikasi / gangguan rasa aman dan
nyaman
Komplikasi terjadi terutama disebabkan oleh lendir
yang tidak dapat dikeluarkan sehingga terjadi etelaktasis atau bronkiektasis.
Untuk menghindari mukus yang menetap maka sikap baring pasien terutama bayi
harus diubah setiap 2 jam sekali dan penghisapan lendir sering dilakukan.setiap
mengubah posisi dilakukan sambil menepuk punggung pasien jika lendirnya meleleh
hisap.
6.
Kurang pengetahuan orang tua mengenai
penyakit.
Penyuluhan ditujukan untuk mencegah terjadinya
penyakit ialah dengan memberikan pengertian batuk, pilek, demam selama 2 hari
tidak sembuh agar dibawa kepelayanan kesehatan. Pada bayi dan anak kecil
umumnya lemah, misalnya baru sembuh dari penyakit diare atau anak sering batuk,
pilek, jangan dibawa keluar pada malam hari atau dibiarkan bermain diluar jika
udara tidak baik karena dapat menyebabkan pneumonia. Selain itu perlu
pemeliharaan kesehatan dan kebersihan lingkungan agar anak tetap sehat.
A.
Tinjauan Kasus Secara Teoritis
Proses keperawatan merupakan tindakan berurutan
dilaksanakan secara sistematis untuk menentukan masalah pasien dimulai pengkajian,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi. ( Hidayat ;2004 : 92 )
Asuhan
keperawatan merupakan proses kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung
diberikan pada klien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan yang
dilaksanakan dengan menggunakan metode proses keperawatan berpedoman pada
standar keperawatan dilandasi etik dan etika keperawatan dalam lingkup dan
wewenang serta tanggung jawab. ( Kusnanto ; 2003 : 59 )
1.
Pengkajian
Pengkajian
adalah dasar utama atau dasar langkah awal dari proses keperawatan. Pengkajian
merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya yaitu kemampuan
mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi untuk menentukan diagnosis
keperawatan. Diagnosis yang diangkat akan menentukan desain perencanaan yang
dibuat oleh karna itu pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan cermat sehingga
seluruh kebutuhan keperawatan pada pasien dapat diidentifikasi. ( Walid ; 2008
: 24 )
Pengkajian
merupakan dasar utama atau dasar langkah awal dari proses keperawatan secara
komprehensif dengan tujuan mengumpulkan data, mengelompokkan dan menganalisa
data sehingga ditemukan diagnosa. ( Gaffar; 1999 : 57 )
Pengkajian
menurut ngastiyah ( 2005 ) yaitu pada tahap ini data harus benar – benar
diperoleh secara akurat sehingga didapat data pasien secara pasti. Langkah
pengkajian dimulai dengan mengumpulkan data untuk diidentifikasi masalah kesehatan
yang potensial dan akurat, analisa data dari semua sumber dan penemuan masalah
kemudian dirumuskan diagnosa keperawatannya. pengkajiannya yaitu : biodata
meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, agama, alamat, tanggal masuk rumah
sakit, nama ayah ibu, dan lain – lain yang berguna untuk memberikan gambaran
tentang identitas klien.
Pengkajian
menurut Wong ( 2003 ) yaitu :
a.
Identifikasi
faktor yang mempengaruhi tipe penyakit dan respon terhadap infeksi pernafasan
akut misal : usia dan ukuran anak, kemampuan untuk mengatasi infeksi, kontak
dengan anak yang terinfeksi, gangguan penyerta yang mempengaruhi saluran
pernafasan.
b.
Bantu
dengan prosedur diagnostik.
c.
Observasi
adanya menifestasi klinis dari infeksi saluran pernafasan akut.
d.
Kaji
status pernafasan.
a.
Pantau
pernafasan untuk frekuensi, kedalaman, pola, adanya retraksi, pernafasan cuping
hidung.
b.
Auskultasi
paru.
c.
Observasi
adanya atau tidaknya retraksi dan cuping hidung.
e.
Observasi
adanya suara serak dan batuk.
f.
Observasi
prilaku : gelisah, peka rangsangan, ketakutan.
g.
Observasi
dispnea.
h.
Observasi
adanya manifestasi klinis dari infeksi pernafasan.
2.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah
kesehatan yang aktual dan potensial. (Gaffar : 1999 : 60 ).
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan
Broncho Pneumonia ( Doenges ) :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan inflamasi trakeabronkial, pembentukan edema, peningkatan
produksi sputum, nyeri pleuritik ditandai dengan perubahan jumlah dan kedalaman
nafas, suara nafas abnormal,pengunaan aksesori, dispnea dan sianosis, batuk dengan atau tanpa
sputum.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan
dengan perubahan membran alveolar
kapiler ( efek inflamasi ), gangguan pengiriman oksien, gangguan kapasitas
pembawa oksigen darah ditandai dengan dispnea, sianosis, takikardi, perubahan
kesadaran, hipoksia.
c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan
tidak seimbangnya persediaan dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum, kelelahan
karena gangguan pada pola tidur akibat ketidak nyamanan, batuk produktif, dan
dispnea ditandai dengan kekuatan otot menurun, kelemahan fisik, kelelahan, dispnea, takikardi, pucat,
sianosis.
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi
pada parenkim paru ditandai dengan sakit kepala, nyeri dada akibat batuk,
menahan area yang nyeri, kelemahan.
e. Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme,
anoreksia yang berhubungan dengan toksin bakteri, bau dan rasa sputum udara yang berhubungan dengan tertelannya
udara selama priode dispnea.
f. Resiko tinggi kurang cairan yang
berhubungan dengan kehilangan cairan yang banyak ( demam, pernafasan mulut /
hiperventilasi, dan vomiting ) penurunan intake oral.
Diagnosa
keperawatan yang muncul pada penyakit Bronko Pneumonia menurut Lynda Juall
Carpenito :
a. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kekurangan
oksigen untuk akifitas hidup sehari – hari.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan nyeri.
c. Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, dispnea, dan distensi
abdomen.
d. Resiko tinggi infektif penatalaksanaan regimenterapautik berhubungan
dengan kurang pengetahuan tentang kondisi, transmisi infeksi, pencegahan
kekembuhan, diet, tanda, dan gejala kekambuhan dan perawatan tindak lanjut.
3. Perencanaan
Perencanaan merupakan keputusan awal tentang apa yang akan dilakukan,
bagaimana, kapan dan siapa yang melakukan, menentukan apa yang dilakukan untuk
membantu, pasien memenuhi kebutuhan kesehatannya dan mengatasi masalah
keperawatan yang telah ditentukan. (Gaffar: 1999 : 59 )
Perencanaa
asuhan keperawatan ( Doenges ) :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan inflamasi trakeabronkial, pembentukan edema, peningkatan
produksi sputum, nyeri pleuritik.
Tujuan :
Jalan nafas
bersih dan efektif.
Kriteria Hasil : secara verbal
tidak ada keluhan sesak, suara nafas normal ( vasikuler ), sianosis tidak ada,
batuk berkurang atau tidak ada, jumlah pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
1.
Kaji
jumlah atau kedalaman pernafasan dan pergerakan dada.
2.
Auskultasi
daerah paru, catat area yang menurun atau tidak adanya aliran udara.
3.
Tinggikan
kepala, sering ubah posisi.
4.
Bantu
melaksanakan nafas dalam, demonstasikan atau bantu pasien belajar untuk batuk
pada anak besar.
5.
Berikan
cairan kurang lebih 2500 ml/hari dan air hangat.
6.
Kolaborasi dalam pemberian obat dan oksigen.
Rasional :
1. Melakukan evaluasi awal untuk melihat
kemajuan dari hasil intervensi yang telah dilakukan.
2. Penurunan aliran udara timbul pada area
yang konsolidasi dengan cairan. Suara nafas bronchial dapat, ronchi, dan
terdengar pada saat inspirasi dan ekspirasi sebagai respon dari akumulasi
cairan, sekresi kental.
3. Membantu dalam meningkatkan ekspansi dada,
pengisian udara, mobilisasi dan pengeluaran sekret.
4. Pernafasan dalam akan memfasilitasi
pengembangan maksimum paru atau saluran udara kecil. Batuk fasilitasi merupakan
mekanisme pembersihan diri normal, dibantu silia untuk memelihara kepatenan
saluran udara, menahan dada akan membantu mengurangi ketidak nyamanan dan
posisi tegak lurus akan memberikan tekanan lebih besar untuk batuk.
5. Obat membantu mobilisasi pengurangi sesak
akan membantu memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
b.
Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar kapiler ditandai
dengan dispnea, takikardi, penurunan kesadaran, hipoksia.
Tujuan :
Pertukaran gas kembali normal.
Kriteria Hasil : dispnea
hilang atau berkurang, nadi normal.
Intervensi :
1. Observasi
warna kulit, membrane mukosa, kuku serta mencata adanya sianosis perifer
( kuku ) / pucat.
2. Kaji status mental.
3. Monitor denyut nadi.
4. Monitor suhu tubuh.
5. Meninggikan kepala pasien.
6. Kaji tingkat kecemasan.
7. Observasi kondisi yang memburuk :
hipotensi, sputum berdarah, pucat.
8. Kolaborasi pemberian oksigen sesuai
kebutuhan.
Rasional
:
1.
Sianosis
kuku menunjukkan vasokontriksi / respon terhadap demam.
2.
Kelemahan
membuat mudah tersinggung dan samnolen dapat merefleksikan adanya hipoksemia.
3.
Takikardi
biasanya timbul hasil demam.
4.
Demam
tinggi meningkatkan kebutuhan metabolisme dan mengubah konsumsi oksigen
selular.
5.
Mencegah
terjadinya kelelahan.
6.
Meningkatkan
inspirasi maksimal.
7.
Manifestasi
psikologi terhadap respon hipoksia.
8. Syok dan edema paru penyebab yang sering menimbulkan kematian.
9. Pemberian terapi oksigen
10. Memantau perubahan proses penyakit dan memfasilitasi
perubahan prosespenyakit dan memfasilitasi perubahan dan terapi oksigen.
c. Intoleransi aktifitas berhubungan
dengan tidak seimbangnya persediaan dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum,
kelelahan karena gangguan pada tidur akibat ketidak nyamanan batuk roduktif dan
dispnea ditandai dengan kelelahan, lemah, dispnea, takipnea, pucat, sianosis.
Tujuan :
Aktifitas dapat terpenuhi
Kriteria Hasil : laporan
secara verbal, kekuatan otot meningkat, tidak ada perasaan kelelahan, tidak ada
sesak, denyut nadi dalam batas normal, tidak muncul sianosis.
Intervensi
:
1. Evaluasi respon pasien terhadap aktifitas,
catat dan laporkan adanya dispnea, peningkatan kelemahan, perubahan tanda vital
selama aktivitas.
2. Berikan lingkungan yang aman dan nyaman.
3. Beri posisi senyaman mungkin.
4. Bantu dalam memenuhi kebutuhan sehari –
hari.
Rasional :
1. Memberikan kamampuan kebutuhan pasien dan
memfasilitasi dalam pemilihan intervensi selanjutnya.
2. Mengurangi stres dan memberikan rasa
nyaman.
3. Agar memberikan kenyamanan.
4. Meminimalkan kalelahan.
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada parenkhim paru retraksi
seluler, batuk persisten ditandai dengan sakit kepala, nyeri otot, menahan area
dada, prilaku distraksi dan kelemahan.
Tujuan :
Nyeri teratasi
Kriteria Hasil : laporan
verbal nyeri teratasi, skala nyeri menurun, wajah rileks, beristirahat dengan
tenang.
Intervensi :
1. Tentukan karakteristik nyeri, kedalaman,
durasi.
2. Ubah posisi.
3. Kolaborasi dalam pemberian analgesik dan
anti konfulsan atas indikasi.
Rasional :
1. Mengetahui kedalaman nyeri untuk
intervensi selanjutnya.
2. Dapat meringankan ketidak nyamanan klien.
3. Obat – obat digunakan untuk menekan batuk
nonproduksi / paroksimal atau mereduksi mukus yang berlebihan dan meningkatkan
kenyamanan secara umum.
e. Resiko
ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan kebutuhan metabolism sekunder terhadap demam dan proses infeksi,
anoreksia, distensi abdomen.
Tujuan
:
Nutrisi
seimbang.
Kriteria
Hasil : pasien menunjukkan adanya nafsu makan, tidak adanya anoreksia, berat
badan dalam keadaan stabil.
Intervensi
:
1. Identifikasi penyebab mual atau muntah
misalnya sputum yang berlebihan.
2. Auskultasi bising usus
3. Beri makan sedikit tapi sering
4. Evaluasi status nutrisi secara umum
kemudian membandingkan dengan berat badan normal.
Rasional
:
1. Untuk dapat memilih intervensi yang
sesuai.
2. Bising usus dapat berkurang atau tidak
jika terjadi infeksi.
3. Meningkatkan intake meskipun nafsu makan menurun
kembali.
4. Mengetahui seberapa besar penurunan nafsu
makan.
f. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan
dengan kehilangan cairan yang banyak ( demam, pernafasan mulut, hivervintilasi,
mual.
Tujuan :
Memdemonstrasikan keseimbangan
cairan dengan tanda – tanda normal.
Kriteria Evaluasi : membran
mukosa lembab, turgor baik, tanda vital stabil.
Intervensi :
1. Kaji perubahan tanda – tanda vital.
2. Kaji turgor kulit dan kelembaban dari
membran mukosa.
3. Catat adanya mual muntah.
4. Monitor intake dan output, catat warna
urine.
5. Berikan cairan kurang lebih 2500 ml / hari
sesuai kebutuhan individu.
6. Kolaborasi memberikan pengobatan atas
indikasi, memberikan cairan tambahan melalui iv.
Rasional :
1. Peningkatan temperatur, takikardi dapat
mengidentifikasi adanya kurang cairan sistemik.
2. Indikator keadekuatan volume cairan.
3. Memberikan informasi keadekuatan volume
cairan dan kebutuhan untuk penggantian.
4. Mengmbalikan keadekuatan volume cairan.
5. Mengurangi kekurangan cairan dan kehilangan intake yang berlebihan.
Perencanaan asuhan keperawatan menurut
Kathleen Morgan Speer ( 2008 ) yaitu :
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
terkumpulnya eksudasi dan meningkatnya produksi mukus.
Tujuan :
Pertukaran gas kembali normal.
Kriteria
Hasil : kemudahan bernafas, warna kulit normal, berkurangnya kegelisahan.
Intervensi :
1. Atur posisi yang dapat meningkatkan
kenyamanan anak.
2. Ciptakan lingkungan yang dingin dan
lembab, melalui penggunaan oksigen sungkup wajah, oksigen sungkup kepala,
oksigen tenda.
3. Beri oksigen dengan menggunakan sungkup
wajah, kepala, atau tenda.
4. Dorong anak melakukan latihan batuk dan
nafas dalam setiap 2 jam sekali.
5. Lakukan penghisapan lendir bila perlu siapkan
peralatan penghisapan lendir didekat tempat tidur anak.
6. Lakukan fisioterapi dada setiap 4 jam /
sesuai petunjuk.
7. Kaji status pernafasan anak untuk menandai
dispnea, takipnea, ronchi dan sianosis.
8. Anjurkan pemberian asupan cairan peroral
jika tidak dikontra indikasikan.
9. Berikan priode istirahat sesering mungkin.
10. Ubah posisi anak 1 sampai 2 jam.
Rasional :
1. Memberikan posisi yang nyaman membuat anak
mudah bernafas.
2. Udara dingin yang melembabkan membantu
mengencerkan lendir.
3. Oksigen mengurangi kegelisahan.
4. Batuk membantu mengeluarkan lendir, tarik
nafas dalam meningkatkan ekspansi paru.
5. Penghisapan lendir disarankan untuk
mempertahankan saluran nafas yang bebas terutama jika anak batuk.
6. Fisioterapi dada membantu dalam
menghilangkan eksudat dan lendir.
7. Tanda ini dapat mengidentifikasi bahwa
kondisi anak memburuk.
8. Cairan umumnya mengencerkan lendir.
9. Istirahat dapat menyimpan energi yang
diperlukan untuk melakukan infeksi.
10. Perubahan posisi baring secara teratur
membantu memobilisasi pengeluaran
cairan.
b. Hipertermia berhubungan dengan infeksi
Tujuan :
Suhu tubuh kembali normal.
Intervensi :
1. Pertahankan lingkungan dingin
2. Berikan antipiretik
3. Berikan antipiretik ( asetaminofen / ibu
profen, jangan aspirasi ) sesuai petunjuk.
4. Pantau suhu tubuh anak setiap 1 – 2 jam
waspadai kenaikan suhu secara tiba – tiba.
5. Ambil sediaan sputum membantu
mengidentifikasi penyebab.
6. Beri obat anti mikroba sesuai petunjuk.
7. Berikan kompres basah dengan suhu 37 °C.
Rasional :
1. Lingkungan yang dingin dapat menurunkan
suhu
2. Pemberian antipiretik mengurangi demam secara
eklusif.
3. Peningkatan suhu tubuh secara tiba – tiba
dapat menimbulkan kejang.
4. Sediaan sputum membantu mengidentifikasi
penyebab.
5. Daya obat anti bikroba menyerang organisme
penyebab.
6. Kompres basah akan mendinginkan permukaan
tubuh dengan cara konduksi.
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan inflamasi.
Tujuan :
Kesulitan bernafas hilang.
Kriteria Hasil : pola nafas
normal.
Intervensi :
1. Auskultasi paru terhadap tanda
peningkatan, pembengkakan jalan nafas, kemungkinan obstruksi, termasuk dispnea,
takipnea.
2. Hindari stimulasi langsung pada saluran
pernafasan karena kateter penghisap
3. Beri kebebasan pada anak untuk mengambil
posisi yang menyenangkan, namun bukan horizontal.
4. Pantau status pernafasan dan tanda vital
secara terus menerus hingga jalan udara dijamin bebas.tempatkan peralatan
intubasi gawat darurat disamping tempat tidur.
Rasional :
1. Lebih awal mengenal tanda itu sangat perlu
karena pembengkakan biasanya berkembang dengan cepat dan dapat membawa
kefatalan.
2. Berbagai manipulasi yang ditujukan pada
jaringan nafas dapat menyebabkan spasme laring dan pembengkakan kemungkinan
peningkatan obstruksi komplit.
3. Posisi horizontal dapat menyebabkan
jaringan tubuh memburuk secara cepat, kemungkinan meningkatkan obstruksi
komplet.
4. Pemantauan secara terus menerus diharuskan
sebab peningkatan edema dapat menyebabkan obstruksi komplet kapanpun dan
memerlukan intubasi yang sifatnya gawat darurat.
d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik.
Tujuan :
Asupan nutrisi pada anak
meningkat.
Kriteria
Hasil : makan sedikitnya menghabiskan 80% porsi sediaan.
Intervensi :
1. Pertahankan diet tinggi protein, tinggi
kalori pada anak.
2. Berikan makanan dalam jumlah sedikit tapi
sering dan makanan yang disukai.
3. Hindari susu cair yang sangat kental.
Rasional :
1. Anak membutuhkan diet tinggi kalori dan
protein untuk memenuhi kebutuhan energi.
2. Mengurangi mual
3. Susu cair dan kental dapat akan
mengentalkan lendir.
e. Kecemasan pada orang tua berhubungan
dengan kemampuan memberikan dukungan pada anak dan menjelaskan kondisi anak.
Tujuan :
Kecemasan
berkurang.
Kriteria Hasil : orang tua
tidak bertanya terus menerus kondisi anak.
Intervensi :
1. Kaji
pemahaman orang tua kondisi anak dan pemahaman pengobatan.
2. Pastikan
orang tua menemani anak selama rawat inap di rumah sakit.
3. Jelaskan
prosedur pada orang tua dan anak.
4. Berikan dukungan dari sisi emosional pada
orang tua selama anak dirawat inap
dirumah sakit.
Rasional :
1. Pengkajian
memberikan dasar kapan harus memulai pendidikan.
2. Membiarkan orang tua untuk memahami anak
akan memberikan dukungan pada anak.
3. Memberikan penjelasan sebelum dan selama
dirawat dirumah sakit akan meningkatkan segala kesalah pahaman sehingga akan
mengurangi kecemasan.
3.
Implementasi
Menurut La
Ode Jomadi Gaffar, S.Kep ( 1999 ) implementasi merupakan pelaksanaan intervensi
oleh perawat kepada pasien.hal – hal yang harus diperhatikan adalah : validasi,
penguasaan keterampilan interversonal, intelektual dan tehnikal dilakukan
dengan cermat dan efisiensi pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan
psikologi dilindungi dan dilakukan pendokumentasikan keperawatan berupa
pencatat dan pelaporan.
4.
Evaluasi
Evaluasi
adalah fase akhir dari proses keperawatan atau evaluasi terhadap asuhan
keperawatan yang diberikan mencakup keakuratan, kelengkapan, kualitas data
teratasi atau tidak masalah klien serta percapaian tujuan serta ketepatan
intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Bezz, Cecylia L, Sowden,
Linda A, Keperawatan Pediatrik, Edisi 3, EGC :
Jakarta, 2002.
Carpenito
L J, Buku Saku Diagnosa Keperawatan,
Edisi 8, EGC : Jakarta, 1999.
Danusantoso, Halim,Dr. Sp.
P,.Fccp. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru,
Hipokrates : Jakarta, 2000.
E.
Doenges, Marlyn, Rencana Asuhan
Keperawatan, EGC, Jakarta : 2000
Gaffar
L.O.J, Pengantar Keperawatan Profesional,
EGC : Jakarta, 1999.
Hidayat, A.A.A, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Buku 2,
Salemba Medika : Jakarta, 2006.
Hidayat, A.A.A, Konsep Dasar Keperawatan, Salemba Medika : Jakarta, 2004.
J. L.
Burton, Ilmu Penyakit Dalam Pemula, EGC : Jakarta.
Kusnanto, S.Kp.M.Kes, Pengantar Profesi dan Praktek Keperawatan
Profesional, EGC : Jakarta, 2003.
Meadon,
Roy, Newell, Simon, Pediatrika,
Erlangga : Jakarta, 2003.
Ngastiyah, perawatan
anak sakit, edisi 2, EGC : Jakarta 2005.
Somantri, Irman, Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Pernafasan, Salemba Medika : Jakarta, 2008.
Speer, Kathien Morgan, Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik,
Edisi 3, EGC : Jakarta, 2008